Jumat, 09 November 2007


PENGANTAR

Pameran fotografi yang kita saksikan kali ini merupakan rangkaian akhir dari program residensi seniman asal Australia Wanda Gillespie yang dipilih oleh Galeri Soemardja dari sekian aplikasi yang ditawarkan oleh Asialink. Pada tahun ini, Galeri Soemardja kembali berkesempatan menjadi tuan rumah untuk mengakomodasi program tersebut sebagai wujud kerjasama antar lembaga dan mempererat kerjasama di bidang kesenian.

Selama kurang lebih tiga bulan, Wanda Gillespie bekerja di Galeri Soemardja dan untuk beberapa waktu diselingi kerja pahatan kayu di Jatiwangi Art Factory (Majalengka-Jawa Barat). Selama masa residensi itulah, Wanda mengolah pelbagai gagasan yang kemudian dieksekusi ke dalam karya seni instalasi dan fotografi.

Untuk lebih mempererat interaksi dan komunikasi serta diharapkan bisa membangun diskusi yang produktif, bersamaan dengan program tersebut, Galeri Soemardja secara khusus meminta Wanda menggelar workshop dengan komposisi peserta yang terdiri dari sejumlah mahasiswa Seni Rupa-ITB serta alumni. Workshop bertajuk Fictitious Realities -The ephemeral Idea and the clunky object yang dikerjakan selama kurang-lebih satu minggu itu, dan sepanjang prosesnya, Wanda dibantu oleh Henrycus Napitsunargo yang juga berperan sebagai tutor pendamping pada aspek teknik.

Di dunia seni rupa Indonesia kehadiran fotografi dalam pameran terbilang langka. Dalam setahun, kita bisa menghitung dengan jari pameran-pameran fotografi, itupun dengan catatan bahwa kita tidak menghitung pameran karya-karya fotografi salon. Di dalam tempo setahun itu pula, kita jumpai karya fotografi tersisip di pameran-pameran bersama seniman.

Oleh karena itu, pameran Fictitious Realites ini layak dicatat sebagai pameran yang berupaya mengisi kelangkaan tersebut. Dengan keyakinan itu pula Galeri Soemardja percaya kalau pameran hasil workshop ini banyak faedahnya untuk mahasiswa menambah pengalaman artistik sekaligus belajar menguji gagasan-gagasannya dihadapan publik.


Aminudin TH. Siregar
Galeri Soemardja

FOREWORD


This photography exhibition is the final part of the Artist Residency Programme hosting an Australian artist named Wanda Gillespie who was chosen by Galeri Soemardja from many eligible applicants offered by Asialink. This year, Galeri Soemardja is honored to have another opportunity to be the host of this programme as a form of collaborative work between institutions in order to strengthen the relationships, especially in the field of art.

Wanda Gillespie has been working at Galeri Soemardja for almost three months while doing some wood carvings at Jatiwangi Art Factory in Majalengka, West Java. During her residency period, Wanda has explored various ideas which were transformed into artwork in the forms of an installation and photography.

To strengthen the interaction and communication hoping to lead to productive discussions related to this programme, Galeri Soemardja specially asked Wanda to hold a workshop involving some students and alumni from The Faculty of Fine Art and Design ITB. The theme of this one-week workshop is Fictitious Realities -The Ephemeral Idea and the Clunky Object, of which was assisted by Henrycus Napitsunargo as the tutor in charge of technical-related matters throughout the process.

The presence of photography in the world of art is somewhat scarce. In a year, photography exhibitions can be easily counted by the numbers of fingers on one hand, noting that ‘salon photography’ is not included. In addition, during the one year period, we would also find some photographic work is slipped in many art exhibitions.

In response to this situation, this Fictitious Realities exhibition should be documented as an exhibition which is hoped to fill the empty space of such rarity. Galeri Soemardja strongly believes that the final outcome of this workshop would be useful for the students to gain further experience in exploring their artistic sense, and also to put their ideas to the test for the public consumption.


Aminudin TH. Siregar
Galeri Soemardja


Koper, Panggung, Perjalanan

Kemunculan wacana ‘obyek’ dalam seni rupa kontemporer antara lain dipicu oleh konflik dalam perkembangan seni lukis moderen-formalis. Konflik itu memasalahkan kehadiran ‘bentuk’ (shape). Apakah ‘bentuk’ dalam perkembangan seni lukis moderen telah bergeser menjadi ‘obyek’ atau tetap sebagai medium seni lukis? (Ingatlah misalnya lukisan-lukisan bersegi banyak karya Frank Stella).

Konflik perihal ‘bentuk’ lukisan itu membayangi kemunculan seni rupa literalis -atau minimalis menurut Clement Greenberg- yang dianggap terang-terangan memunculkan ‘objecthood’ atau kondisi ‘non seni’. Kondisi ‘non seni’ makin mengemuka; para pelukis malahan tak bermaksud menangguhkannya, sebaliknya menampilkannya secara literal, kata kritikus Michael Fried. Di masa sebelumnya, para pelukis mengolah ‘bentuk’ itu sebagai sesuatu yang piktorial, sekarang kondisi ‘non seni’ yang ditengarai sebagai unsur-unsur teater malah masuk ke wilayah seni rupa, kata Fried. ‘Bentuk’ pada karya seni rupa tetap menjadi fokus situasi, tapi situasi itu katanya kini direbut oleh pemirsa. Dalam kaitan dengan pemirsa inilah, maka kondisi ‘non seni’ yang mulai merasuki gagasan para perupa dianggap sebagai bersumber dari teater.

Hardiman Radjab adalah perupa yang sangat dekat dengan lingkungan teater -ia perancang panggung sejumlah pertunjukan teater kontemporer - dan ia juga perupa dengan latar belakang disiplin kriya kayu. Keduanya tentunya tidak ‘murni’ menurut anggapan kritikus ‘seni murni’. Pada obyek-obyek koper ini malahan seperti terang-terangan Hardiman memasukkan anasir ‘teater’ atau mengoper panggung teater ke dalam koper. Beberapa karyanya dalam pameran ini memetik inspirasinya dari panggung pertunjukan teater. Memang, kita tak lagi hidup di jaman seni rupa formalis, dan konflik antara (wacana) seni rupa dan (kondisi) teatrikal yang dianggap sebagai musuh seni rupa ‘murni’ itu juga tak pernah ada di lingkungan seni rupa kita.

Dalam satu dekade terakhir ini, wacana obyek di lingkungan seni rupa kontemporer kita datang begitu saja. Misalnya sebagai perluasan gagasan trimatra dari para pelukis atau permainan yang mengasyikkan perihal skala oleh para pematung. Para perupa dari lingkungan kriya-seni menyambutnya dengan bermacam-macam pendekatan: olahan bentuk baru yang menyimpang dari tradisi dan fungsi wadah, pencampuran bahan, mengkopi atau mengapropriasi bentuk yang ada, dan sebagainya. Pendek kata, obyek dalam seni rupa kita ikut merayakan keserbabolehan.
Dengan latar ini, karya Hardiman Radjab yang memanfaatkan bentuk dan ruang yang "menjadi’ dalam koper, bahkan menghidupkannya (perhatikan, dalam pameran ini kopernya ada yang bisa ‘bernafas’), memberinya isi dan tafsiran macam-macam menjadi menarik karena kesuntukannya menggarap single-minded medium koper.

Hardiman mantap memilih obyek ini, dan merasa bahwa obyek-koper ini –umumnya koper-koper tua yang menyiman tanda dan bau keras suatu perjalanan - cukup lebar untuk menampung wawasan, ide atau cerita lewat bentuk kopernya yang begitu-begitu saja. Bau perjalanan, suasana asing, pengab, ingatan, kenangan, perpindahan tempat, kesendirian dan kesunyian meruap dari kopor-kopor tua dalam karya-karyanya.

Kentalnya upaya menyusun tema dalam obyek-koper Hardiman menunjukkan kecenderungan berbeda dengan wacana obyek yang ‘serba boleh’ dalam seni rupa kontemporer kita akhir-akhir ini. Di sana letak keunikan sekaligus kekuatan karya Hardiman menurutku.

Pameran di Galeri Soemardja ini merupakan terminal terakhir dalam pameran berjalan karya koper Hardiman yang tahun lalu dikukuhkan sebagai pameran tunggal terbaik tahun 2006 oleh Majalah ‘Tempo’. Pameran ini sebelumnya sudah berlangsung di Cemeti Art House, Yogyakarta (Juli 2007) dan Rumah Seni Yaitu, Semarang (September 2007). +++


Hendro Wiyanto
Kurator Pameran