Koper, Panggung, Perjalanan
Kemunculan wacana ‘obyek’ dalam seni rupa kontemporer antara lain dipicu oleh konflik dalam perkembangan seni lukis moderen-formalis. Konflik itu memasalahkan kehadiran ‘bentuk’ (shape). Apakah ‘bentuk’ dalam perkembangan seni lukis moderen telah bergeser menjadi ‘obyek’ atau tetap sebagai medium seni lukis? (Ingatlah misalnya lukisan-lukisan bersegi banyak karya Frank Stella).
Konflik perihal ‘bentuk’ lukisan itu membayangi kemunculan seni rupa literalis -atau minimalis menurut Clement Greenberg- yang dianggap terang-terangan memunculkan ‘objecthood’ atau kondisi ‘non seni’. Kondisi ‘non seni’ makin mengemuka; para pelukis malahan tak bermaksud menangguhkannya, sebaliknya menampilkannya secara literal, kata kritikus Michael Fried. Di masa sebelumnya, para pelukis mengolah ‘bentuk’ itu sebagai sesuatu yang piktorial, sekarang kondisi ‘non seni’ yang ditengarai sebagai unsur-unsur teater malah masuk ke wilayah seni rupa, kata Fried. ‘Bentuk’ pada karya seni rupa tetap menjadi fokus situasi, tapi situasi itu katanya kini direbut oleh pemirsa. Dalam kaitan dengan pemirsa inilah, maka kondisi ‘non seni’ yang mulai merasuki gagasan para perupa dianggap sebagai bersumber dari teater.
Hardiman Radjab adalah perupa yang sangat dekat dengan lingkungan teater -ia perancang panggung sejumlah pertunjukan teater kontemporer - dan ia juga perupa dengan latar belakang disiplin kriya kayu. Keduanya tentunya tidak ‘murni’ menurut anggapan kritikus ‘seni murni’. Pada obyek-obyek koper ini malahan seperti terang-terangan Hardiman memasukkan anasir ‘teater’ atau mengoper panggung teater ke dalam koper. Beberapa karyanya dalam pameran ini memetik inspirasinya dari panggung pertunjukan teater. Memang, kita tak lagi hidup di jaman seni rupa formalis, dan konflik antara (wacana) seni rupa dan (kondisi) teatrikal yang dianggap sebagai musuh seni rupa ‘murni’ itu juga tak pernah ada di lingkungan seni rupa kita.
Dalam satu dekade terakhir ini, wacana obyek di lingkungan seni rupa kontemporer kita datang begitu saja. Misalnya sebagai perluasan gagasan trimatra dari para pelukis atau permainan yang mengasyikkan perihal skala oleh para pematung. Para perupa dari lingkungan kriya-seni menyambutnya dengan bermacam-macam pendekatan: olahan bentuk baru yang menyimpang dari tradisi dan fungsi wadah, pencampuran bahan, mengkopi atau mengapropriasi bentuk yang ada, dan sebagainya. Pendek kata, obyek dalam seni rupa kita ikut merayakan keserbabolehan.
Dengan latar ini, karya Hardiman Radjab yang memanfaatkan bentuk dan ruang yang "menjadi’ dalam koper, bahkan menghidupkannya (perhatikan, dalam pameran ini kopernya ada yang bisa ‘bernafas’), memberinya isi dan tafsiran macam-macam menjadi menarik karena kesuntukannya menggarap single-minded medium koper.
Hardiman mantap memilih obyek ini, dan merasa bahwa obyek-koper ini –umumnya koper-koper tua yang menyiman tanda dan bau keras suatu perjalanan - cukup lebar untuk menampung wawasan, ide atau cerita lewat bentuk kopernya yang begitu-begitu saja. Bau perjalanan, suasana asing, pengab, ingatan, kenangan, perpindahan tempat, kesendirian dan kesunyian meruap dari kopor-kopor tua dalam karya-karyanya.
Kentalnya upaya menyusun tema dalam obyek-koper Hardiman menunjukkan kecenderungan berbeda dengan wacana obyek yang ‘serba boleh’ dalam seni rupa kontemporer kita akhir-akhir ini. Di sana letak keunikan sekaligus kekuatan karya Hardiman menurutku.
Pameran di Galeri Soemardja ini merupakan terminal terakhir dalam pameran berjalan karya koper Hardiman yang tahun lalu dikukuhkan sebagai pameran tunggal terbaik tahun 2006 oleh Majalah ‘Tempo’. Pameran ini sebelumnya sudah berlangsung di Cemeti Art House, Yogyakarta (Juli 2007) dan Rumah Seni Yaitu, Semarang (September 2007). +++
Hendro Wiyanto
Kurator Pameran